Kamis, 27 Oktober 2016

USHUL FIQH : DEFINISI, URGENSI, SEJARAH PERTUMBUHAN, DAN PERKEMBANGANNYA.



USHUL FIQH : DEFINISI, URGENSI,
SEJARAH PERTUMBUHAN, DAN PERKEMBANGANNYA.

Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah Ushul Fiqh
Progam Pasca Sarjana Progam Magister Manajemen Pendidikan Islam
Universitas Islam Nahdlatul Ulama` (UNISNU) Jepara

Dosen Pembimbing :
Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A.





LOGO UNISNU TERBARU.jpg
 














Oleh :
MOH  `ISHOMUDDIN
162610000320



 
PROGAM PASCA SARJANA
 PROGAM MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA` (UNISNU) JEPARA
2016/2017


USHUL FIQH : DEFINISI, URGENSI, SEJARAH PERTUMBUHAN,
DAN PERKEMBANGANNYA.
A.  PENDAHULUAN
Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informatika sejak masa renesains berimbas kepada kehidupan masyarakat global. Kehidupan manusia  di pelbagai belahan dunia ibarat kampung kecil yang mudah diketahui oleh siapapun. Hal ini menyibak sekat-sekat batas teritorial antar benua dan negara hingga seolah-olah dunia menjadi “sempit”. Percaturan budaya dan tradisi suatu negara atau daerah dengan negara atau daerah lainnya tak bisa dihindarkan lagi. Akibatnya, identitas suatu bangsa kerap menjadi kabur karena telah terpengaruh oleh budaya luar yang belum tentu sesuai dengan karakter bangsa itu sendiri.
Di samping itu, perubahan-perubahan sosial, seperti misalnya perubahan masyarakat tradisionil menjadi masyarakat modern, dari masyarakat tertutup menjadi masyarakat terbuka, dari agraris menjadi industris, dan sebagainya telah banyak menimbulkan problematika kemasyarakatan yang kompleks pula. Terlebih lagi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak diiringi oleh kemajuan akhlak dan budi pekerti. Asas-asas hukum kemanusiaan yang sesuai dengan fitrahnya banyak terabaikan sehingga dapat dikatakan manusia dewasa ini sedang mengalami krisis nilai-nilai insani (human values).
Senarai dengan itu semua, bangkitnya pemikiran Islam sejak awal abad ke-20 telah mendorong para aktivis Islam untuk menyerukan persatuan umat Islam dunia di bawah naungan slogan “Kembali Kepada Al Qur’an dan Sunnah”. Seruan memersatukan umat Islam dengan slogan tersebut didasari oleh sindrome “madzhab” (aliran fiqh) yang diklaim sebagai salah satu faktor kemunduran dan terpecah-pecahnya umat Islam. Slogan itu tentulah tidak salah, dan semangat seruan para pemikir Islam itupun benar adanya, meski sebagaimana diungkap oleh Sirajuddin Abbas yang mengkritik slogan tersebut, ungkapan itu pernah dikritik oleh Khalifah Rasulullah Saw. yang keempat yaitu Ali Ra. dengan pernyataannya “Kalimatu Haqqin Urida Biha al Bathil” artinya ialah sebuah ungkapan kebenaran tetapi yang dimaksud ialah kebatilan[1]. Yang menjadi masalah kemudian tanpa disadari adalah “semakin termarginalkannya kajian-kajian fiqh secara mendalam” yang sejatinya justru dapat menjawab berbagai masalah hukum kehidupan umat Islam dewasa ini.
Diakui atau tidak, semangat kajian ilmu fiqh –terutama Ushul Fiqh- di tengah masyarakat umum terlihat menurun dari tahun ke tahun (tentu mengecualikan lembaga-lembaga seperti pesantren yang masih concern menekuninya). Hal ini sangat terasa dengan semakin maraknya kajian-kajian tafsir maupun hadis di berbagai masjid ataupun majelis taklim di berbagai kota besar seperti Jakarta. Seolah masyarakat Islam dewasa ini lebih nyaman dan semangat mengkaji tafsir maupun hadis dibanding kajian fiqh Islam, terlebih lagi ushul fiqh yang dianggap ruwet dan jelimet.
Padahal, kajian fiqh atau ushul fiqh merupakan kajian penting yang mesti ada dan terus hidup sepanjang adanya kehidupan manusia. Demikian itu disebabkan, setiap perbuatan manusia tak akan lepas dari aturan hukum Syari’at yang notabenenya secara luas dan detail dibahas dalam kajian fiqh dan ushul fiqh. Benar bahwa aturan Syari’at Islam tercantum dalam Al Qur’an dan Hadis (baca: Sunnah), tetapi perbuatan manusia akan terus berkembang dan berubah-ubah sehingga harus dicarikan solusi permasalahannya melalui kajian fiqh Islam, sementara al Qur’an dan Hadis lebih banyak memuat hal-hal pokok dan bukan parsial[2]. Oleh karenanya, penulis merasa perlu menegasikan kembali urgensi Ushul Fiqh bagi umat Islam (khususnya para cendikiawan muslim) dalam mengarungi kehidupan era global ini dengan membahas sebuah makalah yang berjudul Ushul Fiqh : Definisi, Urgensi, Sejarah pertumbuhan, dan perkembangannya.
B.  RUMUSAN MASALAH
1.    Apa pengertian Ushul Fiqih ?
2.    Bagaimanakah Urgensi dan Kedudukan Ilmu Ushul Fiqih?
3.    Bagaimanakah sejarah pertumbuhan dan perkembangan ushul fiqih?
C.  PEMBAHASAN
1.    pengertian Ushul Fiqih
a.    Definisi Usul
Kata أُصُول adalah bentuk jama dari kata أَصْل. Secara etimologis asl berarti “dasar bagi yang lain”. Sebagai istilah, kata asl menjadi sebutan bagi beberapa hal, di antaranya:
Pertama, دَلِيل. Jika seseorang mengatakan, “أَصْلُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ (Dasar dalam masalah ini adalah al-Kitab dan Sunnah),” maka yang dia maksud adalah, “Dalil masalah ini adalah al-Kitab dan Sunnah.”
Kedua, القَاعِدَة. Jika seseorang mengatakan, “الأَصْلُ أَنَّ الْفَاعِلَ مَرْفُوْع (Menurut dasarnya, fa‘il itu harus dibaca marfu‘),” maka maksudnya adalah “Menurut kaidahnya, fa‘il itu marfu[3]‘.”
b.    Definisi Fiqh
Fiqh secara etimologis berarti فَهْم (paham)[4]. Penggunaan kata fiqh di dalam al-Quran[5] menunjukkan bahwa fiqh tidak berarti sekadar fahm, melainkan الإِدْرَاكُ الْعَمِيْق فِي أَمْرٍ مِنَ الْأُمُوْر(pengetahuan yang mendalam tentang suatu perkara), تَعَمُّق (pendalaman), atau الفَهْم الدَّقيق (pemahaman yang mendalam)[6]. Misalnya, dalam firman Allah (al-Tawbah: 122):
فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِي الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوْا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
Kata fiqh pada zaman Rasul saw juga bermakna pemahaman yang mendalam tentang kaidah, aturan, dan tujuan agama Islam. Misalnya, sabda Rasul saw:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْن (متفق عليه)
Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang, maka Dia membuat orang itu memiliki pemahaman agama yang mendalam.[7] Dari pengertian tersebut dapat kita katakan bahwa jika pengetahuan manusia tentang sesuatu ada dua macam, yaitu pengetahuan yang dangkal dan yang mendalam, maka kata fiqh menunjuk pada pengetahuan yang mendalam. Ketika Islam menyuruh umatnya untuk tafaqquh fi al-din, ini berarti umat Islam harus memahami Islam berdasarkan pemahaman yang komprehensif, yang mencakup berbagai bidang mulai dari pokok akidah, filsafat (ru‘yah kawniyyah), etika, pendidikan, ibadah, hukum sosial, hingga tata krama individual dan sosial.
Seiring perkembangan ilmu di dunia Islam, mulai abad ke-2 H., kata fiqh digunakan dalam pengertian khusus, yaitu berkaitan dengan hukum atau deduksi hukum saja.[8] Kata ini pun memiliki pengertian teknis ilmiah, yaitu:
العِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبَةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
(Ilmu tentang hukum syariat praktis yang diperoleh dari dalil yang terperinci).[9] Hukum” secara etimologis berarti penetapan sesuatu atas sesuatu. Dalam definisi ini, yang dimaksud dengan “hukum” adalah “ketetapan yang berasal dari Allah untuk mengatur hidup manusia[10]”. Adanya kata “syariat” selain menegaskan hal tersebut, juga untuk menunjukkan bahwa kajian tentang “hukum-hukum akal” tidak termasuk dalam bahasan fiqh[11].
Fiqh membahas hukum “praktis”. Maksudnya, membahas hukum yang berkaitan dengan “perbuatan” manusia atau pedoman dari Pembuat Syariat Islam atas manusia untuk mengatur kehidupan sosial, relasi antar manusia, serta hak dan kewajiban di antara mereka, juga perintah dan pedoman tentang kewajiban manusia kepada Tuhan dan cara beribadah kepada-Nya. Jadi, hukum syariat yang berkaitan dengan “akidah” dan “tata krama” tidak termasuk dalam pembahasan fiqh[12].Jadi, secara garis besar, fiqh Islam mencakup dua bidang. Pertama, relasi muslim dengan Tuhan (hukum ibadah). Kedua, relasi muslim dengan masyarakat Islam secara khusus maupun masyarakat manusia secara umum (nizam qanuni, legal system). Secara lebih mendetail, hukum fiqh dapat dibagi menjadi 6 bagian:
1.    Hukum tentang ibadah kepada Allah, seperti salat dan puasa. Ini disebut ibadah.
2.    Hukum tentang keluarga, seperti nikah, cerai, keturunan, nafkah, wasiat, dan warisan. Ini disebut ahwal shakhsiyyah.
3.    Hukum tentang aktivitas antar manusia, keuangan, transaksi, dan urusan di pengadilan. Ini disebut mu‘amalah. Bagian ketiga dan kedua dalam istilah hukum modern disebut qanun madani.
4.    Kaidah yang berkaitan dengan kekuasaan pemerintah atas rakyat serta hak dan kewajiban mereka. Ini disebut ahkam shar‘iyyah atau siyasah shar‘iyyah. Dalam istilah hukum bagian ini disebut qanun idari dan qanun dusturi.
5.    Hukum dan kaidah yang berkaitan dengan hukuman bagi penjahat dan penetapan ketertiban di masyarakat. Ini disebut ‘uqubat.
6.    Kaidah yang mengatur relasi negara Islam dengan negara lain termasuk aturan damai dan perang atau huquq dawliyyah.[13]
Hukum Islam bersumber dari “dalil”. Dalil berarti “penunjuk” atau “sesuatu yang darinya hukum disimpulkan[14].” Dalil itu dapat menjadi penunjuk bagi hukum syariat praktis dengan cara direnungi dengan benar. Kata “terperinci” dalam definisi tersebut artinya “parsial” atau “furu‘”. “Dalil yang terperinci” adalah dalil yang berkaitan dengan masalah tertentu, seperti firman Allah (al-Isra’: 32): وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا (Dan janganlah kalian mendekati zina), yang secara khusus berkaitan dengan keharaman zina. Ayat ini adalah dalil terperinci yang berkaitan dengan masalah tertentu, yaitu zina. Ayat tersebut berbeda dengan firman Allah (al-Isra’: 34): وَلاَ تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيْمِ (dan janganlah kalian mendekati harta anak yatim), karena ayat ini adalah dalil terperinci bagi masalah terperinci yang lain, yaitu haramnya memakan harta anak yatim[15].
c.    Definisi Usul Fiqh
Usul Fiqh adalah ilmu yang membahas kaidah mendeduksi hukum syariat Islam dari dalil-dalilnya.[16]  Ilmu Usul Fiqh adalah sekumpulan kaidah umum yang digunakan dalam mendeduksi hukum-hukum furu syariat dari dalil-dalil terperincinya.[17] Usul Fiqh adalah kaidah-kaidah dan dalil-dalil umum yang mengantarkan kepada fiqh.[18] Kaidah-kaidah tersebut misalnya:
1.    Perintah berimplikasi kewajiban (al-amr yaqtadi al-wujub).
2.    Larangan berimplikasi keharaman (al-nahy yaqtadi al-tahrim).
3.    Sunnah berupa perbuatan Nabi saw adalah argumen atas manusia (al-sunnah al-fi‘liyyah hujjah ‘ala al-‘ibad).
4.    Kesepakatan berdasarkan pendapat ulama yang tidak diucapkan tidak dapat dijadikan argumen (al-ijma‘ al-sukuti la yuhtajj bihi).
5.    Perintah untuk mengerjakan sesuatu pada waktunya bukanlah perintah untuk mengerjakan sesuatu itu di luar waktunya (al-amr bi al-ada’ laysa amran bi al-qada’).[19]
2.    Urgensi dan kedudukan ilmu Ushul Fiqih
Untuk menilai sesuatu itu urgen atau tidak adalah dengan melihat sisi manfaatnya, semakin besar manfaatnya maka sesuatu itu akan semakin penting dan begitu juga sebaliknya. Ushul fiqih menjadi sangat urgen karena merupakan barometer, timbangan atau neraca dalam menimbang dan menilai akal manusia dalam relevansinya terhadap isthinbath hukum-hukum syariah dari dalil-dalil yang rinci, peran neraca ini adalah untuk mendapatkan  keadilan sekaligus alat untuk mengetahui seseuatu itu adil atau tidak[20].
Inilah kemudian mengapa semua ulama sepakat bahwa ushul fiqih menduduki posisi yang sangat penting kedudukannya dalam ilmu-ilmu syariah. Menurut Al-Alamah ibnu Khaldun dalam muqadimahnya mengatakan bahwa, ilmu ushul fiqih merupakan ilmu syariah yang paling agung dan paling banyak faidahnya[21].
Ushul fiqih memuat prinsip-prinsip metodologi ilmu Islam, bisa diibaratkan ushul fiqih adalah sebuah mesin produksi dan produknya adalah fiqih. Maka jika pemikiran dalam fiqih tidak berkembang, bahkan cacat, ini di akibatkan kurangnya penguasaan kita terhadap alat produksi tersebut, sehingga kita kesulitan dan bahkan gagal untuk membuat produk fiqih yang benar. Atau sebaliknya keterbatasan pengetahuan kita terhadap tuntutan inovasi produk, sehingga ushul fiqih menjadi mandul dan tidak up to date, fungsional dan sekaligus aplikatif.
Ushul fiqih sebagai alat istinthoqunnash (alat untuk membuat nash-nash berbicara terhadap setiap permasalahan) seharusnya fungsional, mampu berbicara dan menjawab setiap isu-isu pemikiran kontemporer bukan terbatas pada masalah hukum saja tapi pada semua kompetensi, disiplin ilmu dan semua aspek kehidupan manusia.
3.     Pertumbuhan dan perkembangan ushul fiqih
a.    Ushul Fiqh Masa Rasulullah
Ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih kemudian dibandingkan ushul fiqh sebagai sebuah metode memecahkan hukum. Kalau ada yang bertanya: “Dahulu mana ushul fiqh dan fiqh?” tentu tidak mudah menjawabnya. Pertanyaan demikian sama dengan pertanyaan mengenai mana yang lebih dahulu: ayam atau telor.
Musthafa Said al-Khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqh ada sebelum fiqh. Alasanya adalah bahwa ushul fiqh merupakan pondasi, sedangkan fiqh bangun yang didirikan di atas pondasi. Karena itulah sudah barang tentu ushul fiqh ada mendahului fiqh[22] Kesimpulannya, tentu harus ada ushul fiqh sebelum adanya fiqh.
Jawaban demikian benar apabila ushul fiqh dilihat sebagai metode pengambilan hukum secara umum, bukan sebuah bidang ilmu yang khas. Ketika seorang sahabat, misalnya, dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari ayat Alquran atau mencari jawaban dari Rasulullah, maka hal itu bisa dipandang sebagai metode memecahkan hukum. Ia sudah punya gagasan bahwa untuk memecahkan hukum harus dicari dari Alquran atau bertanya kepada Rasulullah. Akan tetapi, cara pemecahan demikian belum bisa dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu. Pemecahan demikian adalah prototipe (bentuk dasar) ushul fiqh, yang masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk disebut sebagai ilmu ushul fiqh.
Prototipe-prototipe ushul fiqh demikian tentu telah ditemukan pada masa hidup Rasulullah sendiri. Rasulullah dan para sahabat berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada pemecahan wahyunya. Ijtihad tersebut masih dilakukan sahabat dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan rumit seperti yang dirumuskan para ulama dikemudian hari.
Contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat bepergian, kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk wudlu. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulang Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah menyatakan: “Bagimu dua pahala.[23]
Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam memecahkan persoalan ketika menemukan air setelah shalat selesai dikerjakan dengan tayammum. Mereka berbeda dalam menyikapi persoalan demikian, ada yang mengulang shalat dengan wudlu dan ada yang tidak. Akhirnya, Rasulullah membenarkan dua macam hasil ijtihad dua sahabat tersebut.
Tidak hanya prototipe ijtihad, prototipe qiyas pun sudah ada pada masa Rasulullah. Kisah berikut menjadi contoh bagaimana qiyas dilakukan oleh Rasulullah. Suatu saat seorang perempuan datang kepada Rasulullah dan mengatakan bahwa ibunya meninggal dunia dengan meninggalkan hutang puasa satu bulan. Rasulullah pun kemudian berkata:
أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتِ تَقْضِينَهُ. فَقَالَتْ : نَعَمْ فَقَالَ : دَيْنٌ اللَّهِ أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ
“Bagaimana seandainya ibumu memiliki hutang, apakah engkau membayarkannya?” Perempuan tersebut menjawab: “Ya.” Rasulullah berkata: “Hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.[24]
 Terhadap pertanyaan perempuan yang datang kepadanya, Rasulullah tidak menjawab dengan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Beliau menjawabnya dengan meng-qiyas-kan terhadap hutang piutang. Jadi, hukum hutang puasa orang tua yang meninggal dunia disamakan dengan hukum hutang piutang harta. Kasus tersebut menjadi bentuk dasar qiyas, yang dikemudian hari disusun prosedurnya secara baku oleh Imam Syafi’i.
Berbagai konsep ushul fiqh dapat ditemukan penggunaannya pada masa Rasulullah. Semua itu belum menjadi konsep baku, melainkan hanya sebagai buah dari pemecahan masalah praktis. Sama halnya seperti ketika orang Nusantara mempergunakan bahasa Melayu pada abad XVII atau XVIII. Mereka mengerti bagaimana mengucapkan bahasa Melayu yang benar berdasarkan kebiasaan dan pemahaman yang ada dalam otak mereka. Akan tetapi, kaidah-kaidah bahasa Melayu, yang kemudian disempurnakan menjadi kaidah bahasa Indonesia, baru ditulis dan dirumuskan belakangan dari praktek orang Melayu berbahasa.
b.     Ushul Fiqh Masa Sahabat
Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya bimbingan Rasulullah kepada masa Rasulullah tidak lagi mendampingi umat Islam. Ketika Rasulullah masih hidup sahabat menggunakan tiga sumber penting dalam pemecahan hukum, yaitu Alquran, sunnah, dan ra’yu (nalar). Petunjuk paling jelas terhadap tiga sumber tersebut tampak dalam riwayat berikut:
   عَنْ مُعَاذٍ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ لَهُ : كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟. قَالَ : أَقْضِى بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى كِتَابِ اللَّهِ؟ قَالَ : أَقْضِى بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ..قَالَ : أَجْتَهِدُ بِرَأْيِى لاَ آلُو. قَالَ : فَضَرَبَ بِيَدِهِ فِى صَدْرِى وَقَالَ : الْحَمْدُ للَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللَّهِ.

Dari Muadz: Bahwasanya Rasulullah SAW ketika mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda: “Bagaimana kau memutuskan juga dihadapkan perkara kepadamu‘ Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan kitab Allah. Rasulullah bertanya kembali: “Jika tidak kau temukan dalam kitab Allah.” Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW. Rasulullah bertanya: Jika tidak kau temukan dalam sunnah Rasulullah‘ Muadz menjawab: “Saya berijtihad dengan ra’yu saya dan tidak melampaui batas.” Muadz lalu berkata: “Rasulullah memukulkan tangannya ke dada saya dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk utusan Rasulullah terhadap apa yang diridloi Rasulullah.[25]
            Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah sendiri[26].
            Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di antaranya ijma sahabat dan maslahat.[27] Pertama, khalifah (khulafa’ rasyidun) biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum. Keputusan musywarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang dikemudian hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma yang paling bisa diterima. Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa Rasulullah. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya disamakan.
Penggunaan maslahah juga menjadi bagian penting fiqh sahabat. Umar bin Khattab dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah dalam pemecahan hukum. Hasil penggunaan pertimbangan maslahat tersebut dapat dilihat dalam pengumpulan Alquran dalam satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam satu majelis dipandang sebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman potong tangan diwaktu paceklik, penggunaan pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan sebagainya.  
Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang dimaksud oleh Alquran dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara lain dalam kasus pemahaman ayat iddah dalam surat al-Baqarah 228..
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya menunggu selama tiga quru‘” Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci dan haidh. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Usman, dan Abu Musa al-Asy’ari mengartikan quru’ dalam ayat di atas dengan pengertian haidh, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Umar mengartikannya dengan suci.[28] Itu berarti ada perbedaan mengenai persoalan lafal musytarak (polisemi).
Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah, ushul fiqh pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pandangan dan berargumantasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakuakn sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.[29]
Pada era tabi’in perbincangan mengenai persoalan ushul fiqh tidak banyak berbeda dengan era sahabat karena para tabiin adalah murid-murid para sahabat. Hal yang penting dicatat barangkali adalah bahwa pada era tabi’in, pembagian geografis mulai mendapatkan tempat dalam peta pemikiran hukum Islam. Perbincangan tersebut disertai dengan munculnya sentral-sentral pengembangan kajian hukum Islam di amshar (kota-kota besar Islam), seperti Makkah dan Madinah, Iraq (Kufah), Syiria, dan Mesir.
c.     Ushul Fiqh Masa Tabi’in
Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat. Patut dicatat bahwa para sahabat ketika Islam menyebar turut pula menyebar ke berbagai daerah, seperti Ibnu Mas’ud ada di Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir. Para sahabat tersebut berperan dalam penyebaran ajaran Islam dan menjadi tempat masyarakat masing-masing daerah meminta fatwa. Mereka pun memiliki murid-murid di daerah-daerah tersebut. Murid-murid sahabat itulah yang kemudian menjadi tokoh hukum di daerahnya masing-masing.
Murid-murid para sahabat tidak hanya dari kalangan orang-orang Arab, melainkan juga dari kalangan muslim non-Arab (mawali). Banyak pemberi fatwa yang terkenal di kalangan tabi‘in adalah non-Arab, seperti Nafi , Ikrimah, Atha’ bin Rabbah (para ahli hukum Makkah), Thawus (ahli hukum Yaman), Ibrahim al-Nakha‘i (ahli hukum Kufah), Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin (para ahli hukum Bashrah), Yahya ibn Katsir[30]. 
Kecenderungan berpikir sahabat turut mempengaruhi pola pemikiran ushul fiqh di masing-masing daerah. Ibnu Mas’ud, misalnya, dikenal sebagai tokoh yang memiliki kemampuan ra’yu yang baik. Tidak mengherankan apabila murid-muridnya di Iraq (Kufah) juga dikenal dengan ahl al-ra’yi, meskipun ada faktor lain yang tentunya berpengaruh. Karena itulah, metode istimbath tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istimbath sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting:
1.    Pemalsuan hadits
2.    Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan  kelompok Iraq (ahl al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl al-hadits)
Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas yang sertai dengan perbedaan kelompok ahli hukum (fukaha) berdasarkan wilayah geografis.  Dua hal tersebut, ditambah munculnya para ahli hukum non-Arab, melahirkan wacana pemikiran hukum yang nantinya melahirkan madzhab-madzhab hukum Islam. Masing-masing madzhab hukum memiliki beberapa aspek metode yang khas, yang membedakannya dengan madzhab yang lain.  
d.    Ushul Fiqh Masa Imam Madzhab
Pada masa imam madzhab inilah pemikiran hukum Islam mengalami dinamika yang sangat kaya dan disertai dengan perumusan ushul fiqh secara metodologis. Artinya, ada kesadaran mengenai cara pemecahan hukum tertentu sebagai metode khas. Berbagai perdebatan mengenai sumber hukum dan kaidah hukum melahirkan berbagai ragam konsep ushul fiqh.
Imam Najmuddin al-Thufi pada peralihan abad ke-7 ke abad ke-8 hijriyah, misalnya, menginventarisir sembilan belas dalil hukum, baik yang disepakati maupun yang dipertentangkan para ulama, yang masih dikenal pada masanya. Kesembilan belas dalil hukum itu antara lain:
1.    Alquran                                                                 
2.    hadits
3.    ijma’ ummat
4.    ijma’ orang Madinah
5.    qiyas,
6.    pendapat sahabat
7.    maslahah mursalah
8.    istishab
9.    bara’ah ashliyah
10.          adat/‘urf
11.          istiqra’ (induksi)
12.          sadd al-dzariah (tindakan preventif)
13.           istidlal
14.           Istihsan
15.           mengambil yang lebih mudah
16.          Ishmah
17.          ijma’ orang Kufah
18.          Ijma’ sepuluh orang
19.          dan ijma khulafa’ yang empat (khulafa’ rasyidun).[31] 
Perdebatan mengenai dalil hukum, baik tentang sunnah, amal ahli Madinah, istihsan, qiyas, maslahah mursalah, ijma’, ra’yu, mencapai puncaknya.  Imam Malik dan orang-orang Madinah sangat menghargai amal orang-orang Madinah. Ketika ada hadits Rasulullah diriwayatkan secara ahad (diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang tapi tidak mencapai derajat pasti/mutawatir) bertentangan dengan amal ahli Madinah, amal ahli Madinah lah yang dipergunakan. Alasannya adalah bahwa amalan orang Madinah adalah peninggalan para sahabat yang hidup di Madinah dan mendapatkan petunjuk dari Rasulullah. Amalan orang Madinah telah dilakukan oleh banyak sekali sahabat yang tidak mungkin menyalahi ajaran Rasulullah, yang selama sepuluh tahun hidup di Madinah.
Oleh karena itu, Imam Malik pernah berkirim surat kepada Imam al-Laits, imam orang Mesir, yang isinya mengajak Imam laits untuk mempergunakan amalan orang Madinah. Akan tetapi tawaran tersebut ditolak oleh Imam Laits karena ia lebih setuju mengutamakan hadits, meskipun hadits itu ahad. Orang Iraq, khususnya Imam Abu Hanifah, mempergunakan istihsan apabila hasil qiyas, meskipun benar secara metode, dirasa tidak sesuai dengan nilai dasar hukum Islam. Penggunaan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tersebut  ditentang ulama lain dan dipandang sebagai pemecahan hukum berdasarkan hawa nafsu. Orang-orang Iraq juga dikritik karena mempergunakan ra’yu secara berlebihan. Sementara itu, bagi orang Iraq, mempergunakan petunjuk umum ayat dan ra’yu lebih dirasa memadai dibandingkan mempergunakan riwayat dari Rasulullah, tetapi riwayat tersebut tidak meyakinkan kesahihannya.
Penggunaan amal Madinah oleh Imam Malik dan istihsan oleh Imam Abu Hanifah tidak berarti keduanya mengabaikan hadits. Alquran dan hadits tetap menjadi pilar utama istimbath hukum. Imam Malik adalah orang pertama yang menyusun kitab hadits, yaitu dalam kitabnya al-Muwaththa’. Kitab al-Muwaththa’ adalah kitab hadits yang dipergunakan sebagai dasar pemecahan masalah hukum sehingga disusun dengan sistematika fiqh. Imam Abu Hanifah dan para muridnya juga sangat menghargai hadits. Hasil istimbath hukum Imam Abu Hanifah dan orang-orang Iraq juga dipenuhi dengan dasar Alquran dan hadits.
Penolakan terhadap hadits tertentu terjadi karena keduanya mengutamakan riwayat yang kuat. Bagi Imam Malik, amalan orang Madinah sangat kuat karena diamalkan ribuan sahabat sejak masa Nabi Muhammad. Jadi, amalan orang Madinah tidak bisa dikalahkan hanya oleh riwayat oleh satu dua orang saja. Apabila riwayat tersebut bisa dibuktikan secara meyakinkan tentu Imam Malik akan menerimanya. Hal yang sama terjadi dengan Imam Abu Hanifah. Terjadinya pemalsuan hadits membuat orang-orang Iraq bertindak selektif. Apabila ada riwayat yang diragukan kesahihannya, mereka lebih merasa aman mempergunakan makna umum Alquran dan menjabarkannya melalui ra’yu (nalar) mereka. Akan tetapi, kalau ada hadits yang sahih tentu hadits tersebut yang dijadikan sandaran.
Sejalan dengan munculnya pemlsuan hadits tersebut, muncullah aliran ingkar al-sunnah. Aliran tersebut berpandangan bahwa Alquran saja sudah cukup dijadikan sebagai pedoman, tanpa perlu mempertimbangkan hadits. Aliarn tersebut adalah kelompok yang frustasi akibat terjadinya pemalsuan hadits sehingga menolak keseluruhan hadits, tanpa melalui penelitian terlebih dahulu. Memang pada masa tersebut Imam Bukhari, Imam Muslim dan para pengumpul hadits belum banyak seperti pada abad ke-4 Hijriyah, meskipun telah ada beberapa kitab hadits. Terhadap munculnya aliran ingkar al-sunnah tersebut, Imam Syafi’i bekerja keras membantah argumentasi kelompok ingkar al-sunnah. Perdebatan Imam Syafii dengan ingkar al-sunnah bisa dibaca dalam kitab al-Umm.. Imam Syafii kemudian mengajukan sistematika dalil hukum yang utama, yaitu:
1.    Alquran
2.    Sunnah
3.    Ijma’
4.    Qiyas
Melalui sistematika tersebut, Imam Syafi’i menegaskan kembali Alquran sebagai sumber pertama, sedangkan hadits sebagai sumber kedua. Dengan rumusan semacam itu, dia menolak pandangan ingkar al-sunnah dan juga menolak sikap sebagian ulama ushul yang mendahulukan amalan orang Madinah atau makna umum Alquran dibandingkan hadits ahad. Gagasan demikianlah yang kemudian melahirkan madhab Syafi‘i.
Imam Syafi’i melakukan pendisiplinan dan sistematikasi penggunaan ijma dan qiyas para oleh pendahulunya. Ia mengkritik ijma’ yang dilakukan berdasarkan kedaerahan, yaitu ijma’ ahli Madinah dan ijma’ orang Kufah. Beliau  menegaskan bahwa ijma’ yang valid adalah ijma’ umat Islam, tidak cukup ijma’ orang Kufah orang Madinah, atau ijma’ sahabat saja. Imam Syafi’i juga membenahi penggunaan qiyas agar dilakukan secara metodologis. Beliau mengajukan syarat-syarat agar qiyas dilakukan, yaitu melalui empat rukun qiyas, yang akan dibahas dalam bab qiyas nanti.
Karya Imam Syafi’i, yaitu al-Risalah, adalah kitab ushul fiqh yang pertama ditulis. Kitab tersebut menjadi tonggak bagi perkembangan ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri. Para ahli ushul menganggap Imam Syafi’i sebagai Bapak dan Pendiri ilmu ushul fiqh.[32]
Di kalangan madzhab Hanafi ada yang menolak bahwa Imam Syafi’i sebagai pendiri ushul fiqh. Mereka menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan dua muridnya: Imam Abu Yusuf Ibnu Abi Laila dan Muhammad bin Hasan al-Syaybani adalah peletak ilmu ushul fiqh.[33] Sejarah memang mencatat bahwa Imam Syafi’i pernah berguru kepada Imam Muhammad bin Hasan al-Syaybani.
Klaim golongan Hanafi boleh jadi benar apabila dikaitkan dengan munculnya gagasan metodologis ushul fiqh. Imam Syafi‘i tidak memulai segalanya dari ruang kosong. Rumusan-rumusan yang beliau tulis tentu telah dibicarakan orang pada masanya. Apalagi pemikiran ushul fiqh di Iraq memang kaya dan maju di masa itu. Hanya saja, Imam Syafi‘i lah yang memiliki bukti otentik, berupa karya, yang bisa menjadi patokan bagi dimulainya ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri.
Setelah lahirnya kitab al-Risalah, perdebatan mengenai aspek metodologis masih terjadi dan perbedaan pendapat pun masih ada. Imam Ahmad bin Hanbal, meskipun murid Imam Syafi‘i, hanya menerima ijma‘ sahabat, bukan ijma‘ ummat. Imam Dawud al-Dzahiri menolak penggunaan qiyas dan lebih condong untuk menggunakan makna universal lafal Alquran atau hadits untuk diberlakukan kepada kasus-kasus baru.
D.  KESIMPULAN
1.    Pengertian Usul Fiqh adalah ilmu yang membahas kaidah mendeduksi hukum syariat Islam dari dalil-dalilnya.[34]  Ilmu Usul Fiqh adalah sekumpulan kaidah umum yang digunakan dalam mendeduksi hukum-hukum furu syariat dari dalil-dalil terperincinya.[35]
2.      Urgensi dan kedudukan ilmu Ushul Fiqih
Ushul fiqih menjadi sangat urgen karena merupakan barometer, timbangan atau neraca dalam menimbang dan menilai akal manusia dalam relevansinya terhadap isthinbath hukum-hukum syariah dari dalil-dalil yang rinci, peran neraca ini adalah untuk mendapatkan  keadilan sekaligus alat untuk mengetahui seseuatu itu adil atau tidak[36]. Semua ulama sepakat bahwa ushul fiqih menduduki posisi yang sangat penting kedudukannya dalam ilmu-ilmu syariah. Menurut Al-Alamah ibnu Khaldun dalam muqadimahnya mengatakan bahwa, ilmu ushul fiqih merupakan ilmu syariah yang paling agung dan paling banyak faidahnya[37].
4.     Pertumbuhan dan perkembangan ushul fiqih adalah sebagai berikut : Ushul Fiqh Masa Rasulullah, Ushul Fiqh Masa Sahabat, Ushul Fiqh Masa Tabi’in,  Ushul Fiqh Masa Imam Madzhab
E.   PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sajikan tentunya masih banyak kekurangan disebabkan keterbatasan sumber dan pengetahuan penyusun. Kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan dalam rangka pembuatan makalah selanjutnya yang lebih baik. Semoga makalah ini dapat  bermanfaat dan dapat menambah khasanah pengetahuan, manfaat untuk kita semua. Amiiinn.





DAFTAR PUSTAKA

 Abd al-Hadi al-Fadli, Mabadi’ Usul al-Fiqh,

Abdul Wahab Ibrhamim Abu Sulaiman. Al-Fikr al-Usuli: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah. Jeddah: Dar al-Syuruq. 1983

Abdul Wahhab Khalaf, Mashadir al Tasyri’ al Islamy Fima La Nashsha Lah, Dar al Qalam, Kuwait; 1993.

Abdullah bin Yusuf al-Juday‘, Taysir ‘Ilm Usul al-Fiqh,

Abdullah bin Yusuf al-Juday‘, Taysir ‘Ilm Usul al-Fiqh, Abd al-Hadi al-Fadli, Mabadi’ Usul al-Fiqh,

Abdullah bin Yusuf al-Juday‘, Taysir ‘Ilm Usul al-Fiqh, Beirut: Mu’assasah al-Rayyan, cet. I, 1418 H./1997 M.,

Al-Suyuthi. al-Asybah wa al-Nadzair fi al-Furu’. Bairut: Daar Alfikri, tth,

I’lam muwaqiin 1/110, ibnu alqoyim ,darul hadits

Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (t.t.: Dar al-Bayan, t.th.),

Muhammad al-Khudlary. Tarikh Tasyri’ al-Islamy. Surabaya: dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah. Tth.

Muhammad Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-Fuqaha. Beirut: Muassassah al-Risalah. 1994.

Muhammad Sulayman ‘Abd Allah al-Ashqar, al-Wadih fi Usul al-Fiqh li al-Mubtadi’in ma‘a As’ilah li al-Munaqashah wa Tamrinat, Kairo: Dar al-Salam, cet. II, 1425 H./2004 M.,

Muhammad Sulayman al-Ashqar, al-Wadih,

Murtada Mutahhari, Madkhal ila al-‘Ulum al-Islamiyyah: al-Usul, terj. Hasan ‘Ali al-Hashimi, Beirut: Dar al-Wala’, cet. I, 2009 M./1430 H.

Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al-Islami wa Madarisuh,

Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al-Islami wa Madarisuh, ‘Abdullah bin Yusuf al-Juday‘, Taysir ‘Ilm Usul al-Fiqh,[1] Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al-Islami wa Madarisuh, Al-Zarqa memasukkan hukum yang berkaitan dengan akhlak dan tata krama, disebut adab, ke dalam bagian fiqh.

Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al-Islami wa Madarisuh, Damaskus: Dar al-Qalam dan Beirut: Dar al-Shamiyyah, cet. I, 1416 H./1995 M., h. 9; Murtada Muttahhari, Madkhal ila al-‘Ulum al-Islamiyyah: Fiqh, terj. Hasan ‘Ali al-Hashimi, Beirut: Dar al-Wala’, cet. II, 1432 H./2011 M

Musthafa Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf

Najmuddin al-Thufi. Kitab al-Ta’yin fi Syarh al-Arbain. Beirut: Muassasah al-Rayyan. 1998.

Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Tt: Tp. Tth. h. 13. Lihat  juga Noel James Coulson. History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press. 1964.

Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama 2, Pustaka Tarbiyah, Jakarta; 2005

Thaha Jabir Alwani. Source Methodology in Islamic Jurisprudence. Virginia: IIIT. 1994.

Wael B. Hallaq. A History of Islamic Legal Theories, an Introduction to Sunni Ushul Fiqh. Cambridge:  Cambridge University Press. 1997.



[1] Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama 2, (Pustaka Tarbiyah, Jakarta; 2005), cet. Ke-29, hlm. 273-274. 

[2] Abdul Wahhab Khalaf, Mashadir al Tasyri’ al Islamy Fima La Nashsha Lah, (Dar al Qalam, Kuwait; 1993), cet. Ke-6. hlm. 8

[3]Abdullah bin Yusuf al-Juday‘, Taysir ‘Ilm Usul al-Fiqh, Beirut: Mu’assasah al-Rayyan, cet. I, 1418 H./1997 M., hlm. 11.
[4] Abdullah bin Yusuf al-Juday‘, Taysir ‘Ilm Usul al-Fiqh, hlm. 11.
[5] Kata فقه disebut di dalam al-Quran sebanyak tujuh kali, yaitu di dalam QS. al-An‘am: 25, al-Isra’: 46, al-Kahf: 57, al-Tawbah: 122, al-Kahf: 93, Taha: 28, dan al-Munafiqun: 7. Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Mu‘jam Mufahras li Alfaz al-Qur’an, entri فقه.
[6] Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al-Islami wa Madarisuh, Damaskus: Dar al-Qalam dan Beirut: Dar al-Shamiyyah, cet. I, 1416 H./1995 M., h. 9; Murtada Muttahhari, Madkhal ila al-‘Ulum al-Islamiyyah: Fiqh, terj. Hasan ‘Ali al-Hashimi, Beirut: Dar al-Wala’, cet. II, 1432 H./2011 M., hlm. 11-12.
[7] Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al-Islami wa Madarisuh, hlm. 9-10. 

[8] Murtada Mutahhari, Madkhal ila al-‘Ulum al-Islamiyyah: al-Usul, terj. Hasan ‘Ali al-Hashimi, Beirut: Dar al-Wala’, cet. I, 2009 M./1430 H., hlm. 11-13
[9] Abdullah bin Yusuf al-Juday‘, Taysir ‘Ilm Usul al-Fiqh, h. 11.
[10] ‘Abd al-Hadi al-Fadli, Mabadi’ Usul al-Fiqh, h. 9.
[11] Di dalam buku al-Tashri‘ al-Islami Manahijuh wa Maqasiduh karya Muhammad Taqi al-Mudarrisi yang disebut-sebut sebagai Neo-Usul Fiqh, bab pertamanya justru bertema “Akal Dan Shariat”. Bab ini memuat empat subbab: (1) Pengertian akal, (2) Akal mengenalkan kepada syariat, (3) Syariat menyempurnakan akal, (4) Putusan-putusan rasional (al-ahkam al-‘aqliyyah).
[12] Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al-Islami wa Madarisuh, h. 10; ‘Abdullah bin Yusuf al-Juday‘, Taysir ‘Ilm Usul al-Fiqh, h. 12.
[13] Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al-Islami wa Madarisuh, h. 10-12. Al-Zarqa memasukkan hukum yang berkaitan dengan akhlak dan tata krama, disebut adab, ke dalam bagian fiqh.
[14] Abd al-Hadi al-Fadli, Mabadi’ Usul al-Fiqh, hlm. 17.
[15] Abdullah bin Yusuf al-Juday‘, Taysir ‘Ilm Usul al-Fiqh, hlm. 12-13.
[16] Abd al-Hadi al-Fadli, Mabadi’ Usul al-Fiqh, hlm. 7.
[17] Muhammad Sulayman ‘Abd Allah al-Ashqar, al-Wadih fi Usul al-Fiqh li al-Mubtadi’in ma‘a As’ilah li al-Munaqashah wa Tamrinat, Kairo: Dar al-Salam, cet. II, 1425 H./2004 M., hlm. 7.
[18] Abdullah bin Yusuf al-Juday‘, Taysir ‘Ilm Usul al-Fiqh, hlm. 13.

[19] Muhammad Sulayman al-Ashqar, al-Wadih, hlm. 7-8.
[20] I’lam muwaqiin 1/110, ibnu alqoyim ,darul hadits
[21] Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (t.t.: Dar al-Bayan, t.th.), hlm. 452
[22] Muhammad Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-Fuqaha. Beirut: Muassassah al-Risalah. 1994. h. 122-123.

[23] Kisah di atas berasal dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan al-Nasa’I daru Abu Sa‘id al-Khudri.  
[24] Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dari Ibnu Abbas. Hadits dengan makna yang sama diriwayatkan oleh Muslim.  

[25] Redaksi hadits di atas berasal dari Sunan al-Baihaqi. Riwayat yang hampir sama isi dan redaksinya juga dimuat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Sunan Abu Dawud, dan Sunan Tirmidzi. Meskipun ada yang meragukan kesahihan hadits di atas, namun hadits tersebut sangat populer di kalangan ushuliyyin.

[26] Thaha Jabir Alwani. Source Methodology in Islamic Jurisprudence. Virginia: IIIT. 1994. hlm. 19
[27] Abdul Wahab Ibrhamim Abu Sulaiman. Al-Fikr al-Usuli: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah. Jeddah: Dar al-Syuruq. 1983. hlm. 38-39..

[28] Musthafa Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf… h. 72.
[29] Muhammad al-Khudlary. Tarikh Tasyri’ al-Islamy. Surabaya: dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah. Tth. hlm. 114.

[30] Najmuddin al-Thufi. Kitab al-Ta’yin fi Syarh al-Arbain. Beirut: Muassasah al-Rayyan. 1998. hlm. 237-238.

[31] Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Tt: Tp. Tth. h. 13. Lihat  juga Noel James Coulson. History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press. 1964. hlm. 53 dst.


[32] Wael B. Hallaq. A History of Islamic Legal Theories, an Introduction to Sunni Ushul Fiqh. Cambridge:  Cambridge University Press. 1997. hlm. 127
[33] Al-Suyuthi. al-Asybah wa al-Nadzair fi al-Furu’. (Bairut: Daar Alfikri, tth, hlm 56)
[34] Abd al-Hadi al-Fadli, Mabadi’ Usul al-Fiqh, hlm. 7.
[35] Muhammad Sulayman ‘Abd Allah al-Ashqar, al-Wadih fi Usul al-Fiqh li al-Mubtadi’in ma‘a As’ilah li al-Munaqashah wa Tamrinat, Kairo: Dar al-Salam, cet. II, 1425 H./2004 M., hlm. 7.
[36] I’lam muwaqiin 1/110, ibnu alqoyim ,darul hadits
[37] Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (t.t.: Dar al-Bayan, t.th.), hlm. 452

Tidak ada komentar:

Posting Komentar