USHUL FIQH : DEFINISI, URGENSI,
SEJARAH PERTUMBUHAN, DAN PERKEMBANGANNYA.
Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Individu Mata
Kuliah Ushul Fiqh
Progam Pasca Sarjana Progam Magister Manajemen
Pendidikan Islam
Universitas Islam Nahdlatul Ulama` (UNISNU) Jepara
Dosen Pembimbing :
Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A.
![]() |
Oleh
:
MOH `ISHOMUDDIN
162610000320
![]() |
PROGAM PASCA SARJANA
PROGAM MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA` (UNISNU) JEPARA
2016/2017
USHUL FIQH : DEFINISI, URGENSI, SEJARAH
PERTUMBUHAN,
DAN PERKEMBANGANNYA.
A. PENDAHULUAN
Pesatnya
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informatika sejak masa renesains
berimbas kepada kehidupan masyarakat global. Kehidupan manusia di pelbagai belahan dunia ibarat kampung
kecil yang mudah diketahui oleh siapapun. Hal ini menyibak sekat-sekat batas
teritorial antar benua dan negara hingga seolah-olah dunia menjadi “sempit”.
Percaturan budaya dan tradisi suatu negara atau daerah dengan negara atau
daerah lainnya tak bisa dihindarkan lagi. Akibatnya, identitas suatu bangsa
kerap menjadi kabur karena telah terpengaruh oleh budaya luar yang belum tentu
sesuai dengan karakter bangsa itu sendiri.
Di samping
itu, perubahan-perubahan sosial, seperti misalnya perubahan masyarakat
tradisionil menjadi masyarakat modern, dari masyarakat tertutup menjadi
masyarakat terbuka, dari agraris menjadi industris, dan sebagainya telah banyak
menimbulkan problematika kemasyarakatan yang kompleks pula. Terlebih lagi,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak diiringi oleh kemajuan akhlak dan
budi pekerti. Asas-asas hukum kemanusiaan yang sesuai dengan fitrahnya banyak
terabaikan sehingga dapat dikatakan manusia dewasa ini sedang mengalami krisis
nilai-nilai insani (human values).
Senarai
dengan itu semua, bangkitnya pemikiran Islam sejak awal abad ke-20 telah
mendorong para aktivis Islam untuk menyerukan persatuan umat Islam dunia di
bawah naungan slogan “Kembali Kepada Al Qur’an dan Sunnah”. Seruan memersatukan
umat Islam dengan slogan tersebut didasari oleh sindrome “madzhab” (aliran
fiqh) yang diklaim sebagai salah satu faktor kemunduran dan terpecah-pecahnya
umat Islam. Slogan itu tentulah tidak salah, dan semangat seruan para pemikir
Islam itupun benar adanya, meski sebagaimana diungkap oleh Sirajuddin Abbas
yang mengkritik slogan tersebut, ungkapan itu pernah dikritik oleh Khalifah
Rasulullah Saw. yang keempat yaitu Ali Ra. dengan pernyataannya “Kalimatu
Haqqin Urida Biha al Bathil” artinya ialah sebuah ungkapan kebenaran tetapi
yang dimaksud ialah kebatilan[1]. Yang
menjadi masalah kemudian tanpa disadari adalah “semakin termarginalkannya
kajian-kajian fiqh secara mendalam” yang sejatinya justru dapat menjawab
berbagai masalah hukum kehidupan umat Islam dewasa ini.
Diakui atau tidak,
semangat kajian ilmu fiqh –terutama Ushul Fiqh- di tengah masyarakat umum
terlihat menurun dari tahun ke tahun (tentu mengecualikan lembaga-lembaga
seperti pesantren yang masih concern menekuninya). Hal ini sangat terasa dengan
semakin maraknya kajian-kajian tafsir maupun hadis di berbagai masjid ataupun
majelis taklim di berbagai kota besar seperti Jakarta. Seolah masyarakat Islam
dewasa ini lebih nyaman dan semangat mengkaji tafsir maupun hadis dibanding
kajian fiqh Islam, terlebih lagi ushul fiqh yang dianggap ruwet dan jelimet.
Padahal, kajian fiqh
atau ushul fiqh merupakan kajian penting yang mesti ada dan terus hidup
sepanjang adanya kehidupan manusia. Demikian itu disebabkan, setiap perbuatan
manusia tak akan lepas dari aturan hukum Syari’at yang notabenenya secara luas
dan detail dibahas dalam kajian fiqh dan ushul fiqh. Benar bahwa
aturan Syari’at Islam tercantum dalam Al Qur’an dan Hadis (baca: Sunnah),
tetapi perbuatan manusia akan terus berkembang dan berubah-ubah sehingga harus
dicarikan solusi permasalahannya melalui kajian fiqh Islam, sementara al Qur’an
dan Hadis lebih banyak memuat hal-hal pokok dan bukan parsial[2].
Oleh karenanya, penulis merasa perlu menegasikan kembali urgensi Ushul Fiqh
bagi umat Islam (khususnya para cendikiawan muslim) dalam mengarungi kehidupan
era global ini dengan membahas sebuah makalah yang berjudul Ushul Fiqh : Definisi, Urgensi, Sejarah pertumbuhan, dan
perkembangannya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Ushul Fiqih ?
2. Bagaimanakah Urgensi dan Kedudukan Ilmu
Ushul Fiqih?
3. Bagaimanakah sejarah
pertumbuhan dan perkembangan ushul fiqih?
C. PEMBAHASAN
1. pengertian Ushul Fiqih
a. Definisi Usul
Kata أُصُول adalah bentuk jama dari kata أَصْل. Secara etimologis asl berarti
“dasar bagi yang lain”. Sebagai istilah, kata asl menjadi sebutan bagi
beberapa hal, di antaranya:
Pertama, دَلِيل. Jika seseorang mengatakan, “أَصْلُ
هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ (Dasar dalam masalah ini adalah al-Kitab dan Sunnah),” maka
yang dia maksud adalah, “Dalil masalah ini adalah al-Kitab dan Sunnah.”
Kedua, القَاعِدَة. Jika seseorang mengatakan, “الأَصْلُ
أَنَّ الْفَاعِلَ مَرْفُوْع
(Menurut dasarnya, fa‘il itu harus dibaca marfu‘),” maka maksudnya adalah
“Menurut kaidahnya, fa‘il itu marfu[3]‘.”
b.
Definisi Fiqh
Fiqh secara
etimologis berarti فَهْم (paham)[4]. Penggunaan
kata fiqh di dalam al-Quran[5] menunjukkan
bahwa fiqh tidak berarti sekadar fahm, melainkan الإِدْرَاكُ
الْعَمِيْق فِي أَمْرٍ مِنَ الْأُمُوْر(pengetahuan yang mendalam tentang suatu perkara), تَعَمُّق (pendalaman), atau الفَهْم
الدَّقيق (pemahaman
yang mendalam)[6].
Misalnya, dalam firman Allah (al-Tawbah: 122):
فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ
طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِي الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ
إِذَا رَجَعُوْا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
Kata fiqh
pada zaman Rasul saw juga bermakna pemahaman yang mendalam tentang kaidah,
aturan, dan tujuan agama Islam. Misalnya, sabda Rasul saw:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي
الدِّيْن (متفق عليه)
Jika Allah
menghendaki kebaikan bagi seseorang, maka Dia membuat orang itu memiliki
pemahaman agama yang mendalam.[7] Dari
pengertian tersebut dapat kita katakan bahwa jika pengetahuan manusia tentang
sesuatu ada dua macam, yaitu pengetahuan yang dangkal dan yang mendalam, maka
kata fiqh menunjuk pada pengetahuan yang mendalam. Ketika Islam menyuruh
umatnya untuk tafaqquh fi al-din, ini berarti umat Islam harus memahami
Islam berdasarkan pemahaman yang komprehensif, yang mencakup berbagai bidang
mulai dari pokok akidah, filsafat (ru‘yah kawniyyah), etika, pendidikan,
ibadah, hukum sosial, hingga tata krama individual dan sosial.
Seiring
perkembangan ilmu di dunia Islam, mulai abad ke-2 H., kata fiqh digunakan dalam
pengertian khusus, yaitu berkaitan dengan hukum atau deduksi hukum saja.[8] Kata ini
pun memiliki pengertian teknis ilmiah, yaitu:
العِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبَةِ مِنْ
أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
(Ilmu
tentang hukum syariat praktis yang diperoleh dari dalil yang terperinci).[9] Hukum”
secara etimologis berarti penetapan sesuatu atas sesuatu. Dalam definisi ini,
yang dimaksud dengan “hukum” adalah “ketetapan yang berasal dari Allah untuk
mengatur hidup manusia[10]”. Adanya
kata “syariat” selain menegaskan hal tersebut, juga untuk menunjukkan bahwa
kajian tentang “hukum-hukum akal” tidak termasuk dalam bahasan fiqh[11].
Fiqh
membahas hukum “praktis”. Maksudnya, membahas hukum yang berkaitan dengan
“perbuatan” manusia atau pedoman dari Pembuat Syariat Islam atas manusia untuk
mengatur kehidupan sosial, relasi antar manusia, serta hak dan kewajiban di
antara mereka, juga perintah dan pedoman tentang kewajiban manusia kepada Tuhan
dan cara beribadah kepada-Nya. Jadi, hukum syariat yang berkaitan dengan
“akidah” dan “tata krama” tidak termasuk dalam pembahasan fiqh[12].Jadi,
secara garis besar, fiqh Islam mencakup dua bidang. Pertama, relasi muslim
dengan Tuhan (hukum ibadah). Kedua, relasi muslim dengan masyarakat Islam
secara khusus maupun masyarakat manusia secara umum (nizam qanuni, legal
system). Secara
lebih mendetail, hukum fiqh dapat dibagi menjadi 6 bagian:
1. Hukum tentang
ibadah kepada Allah, seperti salat dan puasa. Ini disebut ibadah.
2. Hukum tentang
keluarga, seperti nikah, cerai, keturunan, nafkah, wasiat, dan warisan. Ini
disebut ahwal shakhsiyyah.
3. Hukum tentang
aktivitas antar manusia, keuangan, transaksi, dan urusan di pengadilan. Ini
disebut mu‘amalah. Bagian ketiga dan kedua dalam istilah hukum modern
disebut qanun madani.
4. Kaidah yang
berkaitan dengan kekuasaan pemerintah atas rakyat serta hak dan kewajiban
mereka. Ini disebut ahkam shar‘iyyah atau siyasah shar‘iyyah.
Dalam istilah hukum bagian ini disebut qanun idari dan qanun dusturi.
5. Hukum dan
kaidah yang berkaitan dengan hukuman bagi penjahat dan penetapan ketertiban di
masyarakat. Ini disebut ‘uqubat.
6. Kaidah yang
mengatur relasi negara Islam dengan negara lain termasuk aturan damai dan
perang atau huquq dawliyyah.[13]
Hukum
Islam bersumber dari “dalil”. Dalil berarti “penunjuk” atau “sesuatu yang
darinya hukum disimpulkan[14].”
Dalil itu dapat menjadi penunjuk bagi hukum syariat praktis dengan cara
direnungi dengan benar. Kata “terperinci” dalam definisi tersebut artinya
“parsial” atau “furu‘”.
“Dalil yang terperinci” adalah
dalil yang berkaitan dengan masalah tertentu, seperti firman Allah (al-Isra’:
32): وَلَا
تَقْرَبُوا الزِّنَا (Dan janganlah kalian
mendekati zina), yang secara khusus berkaitan dengan keharaman zina. Ayat ini
adalah dalil terperinci yang berkaitan dengan masalah tertentu, yaitu zina.
Ayat tersebut berbeda dengan firman Allah (al-Isra’: 34): وَلاَ تَقْرَبُوا مَالَ
الْيَتِيْمِ (dan janganlah kalian mendekati harta anak yatim),
karena ayat ini adalah dalil terperinci bagi masalah terperinci yang lain,
yaitu haramnya memakan harta anak yatim[15].
c.
Definisi
Usul Fiqh
Usul Fiqh
adalah ilmu yang membahas kaidah mendeduksi hukum syariat Islam dari
dalil-dalilnya.[16] Ilmu Usul Fiqh adalah sekumpulan kaidah umum
yang digunakan dalam mendeduksi hukum-hukum furu syariat dari dalil-dalil
terperincinya.[17] Usul Fiqh
adalah kaidah-kaidah dan dalil-dalil umum yang mengantarkan kepada fiqh.[18] Kaidah-kaidah
tersebut misalnya:
1. Perintah
berimplikasi kewajiban (al-amr yaqtadi al-wujub).
2. Larangan
berimplikasi keharaman (al-nahy yaqtadi al-tahrim).
3. Sunnah berupa
perbuatan Nabi saw adalah argumen atas manusia (al-sunnah al-fi‘liyyah
hujjah ‘ala al-‘ibad).
4. Kesepakatan
berdasarkan pendapat ulama yang tidak diucapkan tidak dapat dijadikan argumen (al-ijma‘
al-sukuti la yuhtajj bihi).
5. Perintah untuk
mengerjakan sesuatu pada waktunya bukanlah perintah untuk mengerjakan sesuatu
itu di luar waktunya (al-amr bi al-ada’ laysa amran bi al-qada’).[19]
2.
Urgensi dan kedudukan
ilmu Ushul Fiqih
Untuk
menilai sesuatu itu urgen atau tidak adalah dengan melihat sisi manfaatnya,
semakin besar manfaatnya maka sesuatu itu akan semakin penting dan begitu juga
sebaliknya. Ushul fiqih menjadi sangat urgen karena merupakan
barometer, timbangan atau neraca dalam menimbang dan menilai akal manusia dalam
relevansinya terhadap isthinbath hukum-hukum syariah dari dalil-dalil
yang rinci, peran neraca ini adalah untuk mendapatkan keadilan sekaligus
alat untuk mengetahui seseuatu itu adil atau tidak[20].
Inilah
kemudian mengapa semua ulama sepakat bahwa ushul fiqih menduduki
posisi yang sangat penting kedudukannya dalam ilmu-ilmu syariah. Menurut
Al-Alamah ibnu Khaldun dalam muqadimahnya mengatakan bahwa, ilmu ushul
fiqih merupakan ilmu syariah yang paling agung dan paling banyak faidahnya[21].
Ushul
fiqih memuat prinsip-prinsip metodologi ilmu Islam, bisa diibaratkan ushul
fiqih adalah sebuah mesin produksi dan produknya adalah fiqih. Maka jika
pemikiran dalam fiqih tidak berkembang, bahkan cacat, ini di akibatkan
kurangnya penguasaan kita terhadap alat produksi tersebut, sehingga kita
kesulitan dan bahkan gagal untuk membuat produk fiqih yang benar. Atau
sebaliknya keterbatasan pengetahuan kita terhadap tuntutan inovasi produk,
sehingga ushul fiqih menjadi mandul dan tidak up to date,
fungsional dan sekaligus aplikatif.
Ushul fiqih
sebagai alat istinthoqunnash (alat untuk membuat nash-nash berbicara
terhadap setiap permasalahan) seharusnya fungsional, mampu berbicara dan
menjawab setiap isu-isu pemikiran kontemporer bukan terbatas pada masalah hukum
saja tapi pada semua kompetensi, disiplin ilmu dan semua aspek kehidupan
manusia.
3.
Pertumbuhan
dan perkembangan ushul fiqih
a.
Ushul Fiqh Masa Rasulullah
Ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih kemudian
dibandingkan ushul fiqh sebagai sebuah metode memecahkan hukum. Kalau ada yang
bertanya: “Dahulu mana ushul fiqh dan fiqh?” tentu tidak
mudah menjawabnya. Pertanyaan demikian sama dengan pertanyaan mengenai mana
yang lebih dahulu: ayam atau telor.
Musthafa Said al-Khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqh
ada sebelum fiqh. Alasanya adalah bahwa ushul fiqh merupakan pondasi,
sedangkan fiqh bangun yang didirikan di atas pondasi. Karena itulah sudah
barang tentu ushul fiqh ada mendahului fiqh[22]
Kesimpulannya, tentu harus ada ushul fiqh sebelum adanya fiqh.
Jawaban demikian benar apabila ushul fiqh dilihat sebagai
metode pengambilan hukum secara umum, bukan sebuah bidang ilmu yang khas.
Ketika seorang sahabat, misalnya, dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu ia
mencari ayat Alquran atau mencari jawaban dari Rasulullah, maka hal itu bisa
dipandang sebagai metode memecahkan hukum. Ia sudah punya gagasan bahwa untuk
memecahkan hukum harus dicari dari Alquran atau bertanya kepada Rasulullah.
Akan tetapi, cara pemecahan demikian belum bisa dikatakan sebagai sebuah bidang
ilmu. Pemecahan demikian adalah prototipe (bentuk dasar) ushul fiqh,
yang masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk disebut sebagai ilmu ushul
fiqh.
Prototipe-prototipe ushul fiqh demikian tentu telah
ditemukan pada masa hidup Rasulullah sendiri. Rasulullah dan para sahabat
berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada pemecahan wahyunya. Ijtihad
tersebut masih dilakukan sahabat dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan
rumit seperti yang dirumuskan para ulama dikemudian hari.
Contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika
dua orang sahabat bepergian, kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka
tidak punya air untuk wudlu. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci
dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum
habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu
mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak
mengulang Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.”
Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah menyatakan:
“Bagimu dua pahala.[23]”
Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam
memecahkan persoalan ketika menemukan air setelah shalat selesai dikerjakan
dengan tayammum. Mereka berbeda dalam menyikapi persoalan demikian,
ada yang mengulang shalat dengan wudlu dan ada yang tidak. Akhirnya, Rasulullah
membenarkan dua macam hasil ijtihad dua sahabat tersebut.
Tidak hanya prototipe ijtihad, prototipe qiyas
pun sudah ada pada masa Rasulullah. Kisah berikut menjadi contoh bagaimana qiyas
dilakukan oleh Rasulullah. Suatu saat seorang perempuan datang kepada
Rasulullah dan mengatakan bahwa ibunya meninggal dunia dengan meninggalkan
hutang puasa satu bulan. Rasulullah pun kemudian berkata:
أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتِ تَقْضِينَهُ.
فَقَالَتْ : نَعَمْ فَقَالَ : دَيْنٌ اللَّهِ أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ
“Bagaimana seandainya ibumu memiliki hutang, apakah engkau
membayarkannya?” Perempuan tersebut menjawab: “Ya.” Rasulullah berkata: “Hutang
kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.[24]”
Terhadap pertanyaan perempuan yang
datang kepadanya, Rasulullah tidak menjawab dengan jawaban “Ya” atau “Tidak”.
Beliau menjawabnya dengan meng-qiyas-kan terhadap hutang piutang.
Jadi, hukum hutang puasa orang tua yang meninggal dunia disamakan dengan hukum
hutang piutang harta. Kasus tersebut menjadi bentuk dasar qiyas, yang
dikemudian hari disusun prosedurnya secara baku oleh Imam Syafi’i.
Berbagai konsep ushul fiqh dapat ditemukan penggunaannya
pada masa Rasulullah. Semua itu belum menjadi konsep baku, melainkan hanya
sebagai buah dari pemecahan masalah praktis. Sama halnya seperti ketika orang
Nusantara mempergunakan bahasa Melayu pada abad XVII atau XVIII. Mereka
mengerti bagaimana mengucapkan bahasa Melayu yang benar berdasarkan kebiasaan
dan pemahaman yang ada dalam otak mereka. Akan tetapi, kaidah-kaidah bahasa
Melayu, yang kemudian disempurnakan menjadi kaidah bahasa Indonesia, baru
ditulis dan dirumuskan belakangan dari praktek orang Melayu berbahasa.
b. Ushul Fiqh
Masa Sahabat
Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan
adanya bimbingan Rasulullah kepada masa Rasulullah tidak lagi mendampingi umat
Islam. Ketika Rasulullah masih hidup sahabat menggunakan tiga sumber penting
dalam pemecahan hukum, yaitu Alquran, sunnah, dan ra’yu (nalar).
Petunjuk paling jelas terhadap tiga sumber tersebut tampak dalam riwayat
berikut:
عَنْ
مُعَاذٍ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا
إِلَى الْيَمَنِ قَالَ لَهُ : كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟. قَالَ :
أَقْضِى بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى كِتَابِ اللَّهِ؟
قَالَ : أَقْضِى بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ : فَإِنْ
لَمْ تَجِدْهُ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ..قَالَ : أَجْتَهِدُ بِرَأْيِى لاَ
آلُو. قَالَ : فَضَرَبَ بِيَدِهِ فِى صَدْرِى وَقَالَ : الْحَمْدُ للَّهِ الَّذِى
وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللَّهِ.
Dari Muadz:
Bahwasanya Rasulullah SAW ketika mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda:
“Bagaimana kau memutuskan juga dihadapkan perkara kepadamu‘ Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan kitab Allah. Rasulullah bertanya
kembali: “Jika tidak kau temukan dalam kitab Allah.” Muadz menjawab: “Saya
putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW. Rasulullah bertanya: Jika tidak kau
temukan dalam sunnah Rasulullah‘ Muadz menjawab: “Saya berijtihad dengan ra’yu saya dan tidak melampaui batas.” Muadz lalu berkata:
“Rasulullah memukulkan tangannya ke dada saya dan bersabda: “Segala puji bagi
Allah yang telah memberikan petunjuk utusan Rasulullah terhadap apa yang
diridloi Rasulullah.[25]”
Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya
kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan
mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal
memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin
Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir
mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah sendiri[26].
Pada era sahabat ini
digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di antaranya ijma sahabat
dan maslahat.[27]
Pertama, khalifah (khulafa’ rasyidun) biasa melakukan
musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum.
Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum.
Keputusan musywarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain
sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’
sahabat, yang dikemudian hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya oleh Imam
Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma yang paling bisa
diterima. Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu),
yang berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar)
untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus
baru yang belum muncul pada masa Rasulullah. Qiyas dilakukan dengan mencarikan
kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya
disamakan.
Penggunaan maslahah juga menjadi bagian penting fiqh
sahabat. Umar bin Khattab dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan
penggunaan pertimbangan maslahah dalam pemecahan hukum. Hasil
penggunaan pertimbangan maslahat tersebut dapat dilihat dalam
pengumpulan Alquran dalam satu mushaf, pengucapan talak tiga kali
dalam satu majelis dipandang sebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman
potong tangan diwaktu paceklik, penggunaan pajak tanah (kharaj),
pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan sebagainya.
Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang
dimaksud oleh Alquran dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara
lain dalam kasus pemahaman ayat iddah dalam surat al-Baqarah 228..
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ
قُرُوءٍ
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya menunggu selama
tiga quru‘” Kata quru’ dalam
ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci dan haidh. Abu
Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Usman, dan Abu Musa al-Asy’ari mengartikan quru’
dalam ayat di atas dengan pengertian haidh, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit,
dan Ibnu Umar mengartikannya dengan suci.[28]
Itu berarti ada perbedaan mengenai persoalan lafal musytarak
(polisemi).
Secara umum, sebagaimana pada masa
Rasulullah, ushul fiqh pada era sahabat masih belum menjadi bahan
kajian ilmiah. Sahabat memang sering
berbeda pandangan dan berargumantasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan
tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang
kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat
lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang
dilakuakn sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau
permasalahan yang muncul, belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam
kepada masalah metodologi.[29]
Pada era tabi’in perbincangan mengenai persoalan ushul
fiqh tidak banyak berbeda dengan era sahabat karena para tabiin adalah
murid-murid para sahabat. Hal yang penting dicatat barangkali adalah bahwa pada
era tabi’in, pembagian geografis mulai mendapatkan tempat dalam peta pemikiran
hukum Islam. Perbincangan tersebut disertai dengan munculnya sentral-sentral
pengembangan kajian hukum Islam di amshar (kota-kota besar Islam),
seperti Makkah dan Madinah, Iraq (Kufah), Syiria, dan Mesir.
c. Ushul Fiqh
Masa Tabi’in
Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan
sahabat dan belajar kepada sahabat. Patut dicatat bahwa para sahabat ketika
Islam menyebar turut pula menyebar ke berbagai daerah, seperti Ibnu Mas’ud ada
di Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah,
dan Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di
Mesir. Para sahabat tersebut berperan dalam penyebaran ajaran Islam dan menjadi
tempat masyarakat masing-masing daerah meminta fatwa. Mereka pun memiliki
murid-murid di daerah-daerah tersebut. Murid-murid sahabat itulah yang kemudian
menjadi tokoh hukum di daerahnya masing-masing.
Murid-murid para sahabat tidak hanya dari kalangan orang-orang
Arab, melainkan juga dari kalangan muslim non-Arab (mawali). Banyak
pemberi fatwa yang terkenal di kalangan tabi‘in adalah non-Arab, seperti Nafi ,
Ikrimah, Atha’ bin Rabbah (para ahli hukum Makkah), Thawus (ahli hukum Yaman),
Ibrahim al-Nakha‘i (ahli hukum Kufah), Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin (para
ahli hukum Bashrah), Yahya ibn Katsir[30].
Kecenderungan berpikir sahabat turut mempengaruhi pola pemikiran
ushul fiqh di masing-masing daerah. Ibnu Mas’ud, misalnya, dikenal sebagai
tokoh yang memiliki kemampuan ra’yu yang baik. Tidak mengherankan
apabila murid-muridnya di Iraq (Kufah) juga dikenal dengan ahl al-ra’yi,
meskipun ada faktor lain yang tentunya berpengaruh. Karena itulah, metode istimbath
tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istimbath sahabat. Hanya
saja pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting:
1.
Pemalsuan hadits
2.
Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang
memunculkan kelompok Iraq (ahl al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl
al-hadits)
Dengan demikian muncul bibit-bibit
perbedaan metodologis yang lebih jelas yang sertai dengan perbedaan kelompok
ahli hukum (fukaha) berdasarkan wilayah geografis. Dua hal
tersebut, ditambah munculnya para ahli hukum non-Arab, melahirkan wacana
pemikiran hukum yang nantinya melahirkan madzhab-madzhab hukum Islam.
Masing-masing madzhab hukum memiliki beberapa aspek metode yang khas,
yang membedakannya dengan madzhab yang lain.
d. Ushul Fiqh Masa Imam Madzhab
Pada masa imam madzhab inilah pemikiran hukum Islam mengalami
dinamika yang sangat kaya dan disertai dengan perumusan ushul fiqh
secara metodologis. Artinya, ada kesadaran mengenai cara pemecahan hukum
tertentu sebagai metode khas. Berbagai perdebatan mengenai sumber hukum dan
kaidah hukum melahirkan berbagai ragam konsep ushul fiqh.
Imam Najmuddin al-Thufi pada peralihan abad ke-7 ke abad ke-8
hijriyah, misalnya, menginventarisir sembilan belas dalil hukum, baik yang
disepakati maupun yang dipertentangkan para ulama, yang masih dikenal pada
masanya. Kesembilan belas dalil hukum itu antara lain:
1.
Alquran
2.
hadits
3.
ijma’
ummat
4.
ijma’
orang Madinah
5.
qiyas,
6.
pendapat sahabat
7.
maslahah mursalah
8.
istishab
9. bara’ah ashliyah
10.
adat/‘urf
11.
istiqra’
(induksi)
12.
sadd al-dzariah (tindakan preventif)
13.
istidlal
14.
Istihsan
15.
mengambil yang lebih
mudah
16.
Ishmah
17.
ijma’
orang Kufah
18.
Ijma’
sepuluh orang
19.
dan ijma khulafa’ yang empat (khulafa’
rasyidun).[31]
Perdebatan mengenai dalil hukum, baik tentang sunnah, amal ahli
Madinah, istihsan, qiyas, maslahah mursalah, ijma’, ra’yu,
mencapai puncaknya. Imam Malik dan orang-orang Madinah sangat menghargai
amal orang-orang Madinah. Ketika ada hadits Rasulullah diriwayatkan secara ahad
(diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang tapi tidak mencapai derajat
pasti/mutawatir) bertentangan dengan amal ahli Madinah, amal ahli Madinah lah
yang dipergunakan. Alasannya adalah bahwa amalan orang Madinah adalah
peninggalan para sahabat yang hidup di Madinah dan mendapatkan petunjuk dari
Rasulullah. Amalan orang Madinah telah dilakukan oleh banyak sekali sahabat
yang tidak mungkin menyalahi ajaran Rasulullah, yang selama sepuluh tahun hidup
di Madinah.
Oleh karena itu, Imam Malik pernah berkirim surat kepada Imam
al-Laits, imam orang Mesir, yang isinya mengajak Imam laits untuk mempergunakan
amalan orang Madinah. Akan tetapi tawaran tersebut ditolak oleh Imam Laits
karena ia lebih setuju mengutamakan hadits, meskipun hadits itu ahad. Orang
Iraq, khususnya Imam Abu Hanifah, mempergunakan istihsan apabila hasil
qiyas, meskipun benar secara metode, dirasa tidak sesuai dengan nilai
dasar hukum Islam. Penggunaan istihsan oleh Imam Abu Hanifah
tersebut ditentang ulama lain dan dipandang sebagai pemecahan hukum
berdasarkan hawa nafsu. Orang-orang Iraq juga dikritik karena mempergunakan ra’yu
secara berlebihan. Sementara itu, bagi orang Iraq, mempergunakan petunjuk umum
ayat dan ra’yu lebih dirasa memadai dibandingkan mempergunakan riwayat
dari Rasulullah, tetapi riwayat tersebut tidak meyakinkan kesahihannya.
Penggunaan amal Madinah oleh Imam Malik dan istihsan oleh
Imam Abu Hanifah tidak berarti keduanya mengabaikan hadits. Alquran dan hadits
tetap menjadi pilar utama istimbath hukum. Imam Malik adalah orang
pertama yang menyusun kitab hadits, yaitu dalam kitabnya al-Muwaththa’.
Kitab al-Muwaththa’ adalah kitab hadits yang dipergunakan sebagai
dasar pemecahan masalah hukum sehingga disusun dengan sistematika fiqh.
Imam Abu Hanifah dan para muridnya juga sangat menghargai hadits. Hasil istimbath
hukum Imam Abu Hanifah dan orang-orang Iraq juga dipenuhi dengan dasar Alquran
dan hadits.
Penolakan terhadap hadits tertentu terjadi karena keduanya
mengutamakan riwayat yang kuat. Bagi Imam Malik, amalan orang Madinah sangat
kuat karena diamalkan ribuan sahabat sejak masa Nabi Muhammad. Jadi, amalan
orang Madinah tidak bisa dikalahkan hanya oleh riwayat oleh satu dua orang
saja. Apabila riwayat tersebut bisa dibuktikan secara meyakinkan tentu Imam
Malik akan menerimanya. Hal yang sama terjadi dengan Imam Abu Hanifah.
Terjadinya pemalsuan hadits membuat orang-orang Iraq bertindak selektif.
Apabila ada riwayat yang diragukan kesahihannya, mereka lebih merasa aman
mempergunakan makna umum Alquran dan menjabarkannya melalui ra’yu
(nalar) mereka. Akan tetapi, kalau ada hadits yang sahih tentu hadits tersebut
yang dijadikan sandaran.
Sejalan dengan munculnya pemlsuan hadits tersebut, muncullah
aliran ingkar al-sunnah. Aliran tersebut berpandangan bahwa Alquran
saja sudah cukup dijadikan sebagai pedoman, tanpa perlu mempertimbangkan
hadits. Aliarn tersebut adalah kelompok yang frustasi akibat terjadinya
pemalsuan hadits sehingga menolak keseluruhan hadits, tanpa melalui penelitian
terlebih dahulu. Memang pada masa tersebut Imam Bukhari, Imam Muslim dan para
pengumpul hadits belum banyak seperti pada abad ke-4 Hijriyah, meskipun telah
ada beberapa kitab hadits. Terhadap munculnya aliran ingkar al-sunnah
tersebut, Imam Syafi’i bekerja keras membantah argumentasi kelompok ingkar
al-sunnah. Perdebatan Imam Syafii dengan ingkar al-sunnah bisa dibaca
dalam kitab al-Umm.. Imam Syafii kemudian mengajukan sistematika dalil
hukum yang utama, yaitu:
1.
Alquran
2.
Sunnah
3.
Ijma’
4.
Qiyas
Melalui sistematika tersebut, Imam Syafi’i menegaskan kembali Alquran
sebagai sumber pertama, sedangkan hadits sebagai sumber kedua. Dengan rumusan
semacam itu, dia menolak pandangan ingkar al-sunnah dan juga menolak
sikap sebagian ulama ushul yang mendahulukan amalan orang Madinah atau makna
umum Alquran dibandingkan hadits ahad. Gagasan demikianlah yang kemudian
melahirkan madhab Syafi‘i.
Imam Syafi’i melakukan pendisiplinan dan sistematikasi penggunaan ijma
dan qiyas para oleh pendahulunya. Ia mengkritik ijma’ yang
dilakukan berdasarkan kedaerahan, yaitu ijma’ ahli Madinah dan ijma’
orang Kufah. Beliau menegaskan bahwa ijma’ yang valid adalah ijma’
umat Islam, tidak cukup ijma’ orang Kufah orang Madinah, atau ijma’
sahabat saja. Imam Syafi’i juga membenahi penggunaan qiyas agar
dilakukan secara metodologis. Beliau mengajukan syarat-syarat agar qiyas
dilakukan, yaitu melalui empat rukun qiyas, yang akan dibahas dalam
bab qiyas nanti.
Karya Imam Syafi’i, yaitu al-Risalah, adalah kitab ushul
fiqh yang pertama ditulis. Kitab tersebut menjadi tonggak bagi
perkembangan ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri. Para ahli ushul
menganggap Imam Syafi’i sebagai Bapak dan Pendiri ilmu ushul fiqh.[32]
Di kalangan madzhab Hanafi ada yang menolak bahwa Imam Syafi’i
sebagai pendiri ushul fiqh. Mereka menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan
dua muridnya: Imam Abu Yusuf Ibnu Abi Laila dan Muhammad bin Hasan al-Syaybani
adalah peletak ilmu ushul fiqh.[33]
Sejarah memang mencatat bahwa Imam Syafi’i pernah berguru kepada Imam
Muhammad bin Hasan al-Syaybani.
Klaim golongan Hanafi boleh jadi benar apabila dikaitkan dengan
munculnya gagasan metodologis ushul fiqh. Imam Syafi‘i tidak memulai
segalanya dari ruang kosong. Rumusan-rumusan yang beliau tulis tentu telah
dibicarakan orang pada masanya. Apalagi pemikiran ushul fiqh di Iraq
memang kaya dan maju di masa itu. Hanya saja, Imam Syafi‘i lah yang memiliki
bukti otentik, berupa karya, yang bisa menjadi patokan bagi dimulainya ushul
fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri.
Setelah lahirnya kitab al-Risalah, perdebatan mengenai
aspek metodologis masih terjadi dan perbedaan pendapat pun masih ada. Imam
Ahmad bin Hanbal, meskipun murid Imam Syafi‘i, hanya menerima ijma‘
sahabat, bukan ijma‘ ummat. Imam Dawud al-Dzahiri menolak penggunaan
qiyas dan lebih condong untuk menggunakan makna universal lafal Alquran atau
hadits untuk diberlakukan kepada kasus-kasus baru.
D. KESIMPULAN
1. Pengertian Usul Fiqh adalah ilmu yang membahas kaidah
mendeduksi hukum syariat Islam dari dalil-dalilnya.[34] Ilmu Usul Fiqh adalah sekumpulan kaidah umum
yang digunakan dalam mendeduksi hukum-hukum furu syariat dari dalil-dalil
terperincinya.[35]
2.
Urgensi dan kedudukan
ilmu Ushul Fiqih
Ushul fiqih
menjadi sangat urgen karena merupakan barometer, timbangan atau neraca dalam
menimbang dan menilai akal manusia dalam relevansinya terhadap isthinbath
hukum-hukum syariah dari dalil-dalil yang rinci, peran neraca ini adalah untuk
mendapatkan keadilan sekaligus alat untuk mengetahui seseuatu itu adil
atau tidak[36]. Semua
ulama sepakat bahwa ushul fiqih menduduki posisi yang sangat penting
kedudukannya dalam ilmu-ilmu syariah. Menurut Al-Alamah ibnu Khaldun dalam
muqadimahnya mengatakan bahwa, ilmu ushul fiqih merupakan ilmu syariah
yang paling agung dan paling banyak faidahnya[37].
4.
Pertumbuhan
dan perkembangan ushul fiqih adalah sebagai berikut : Ushul Fiqh Masa Rasulullah, Ushul Fiqh Masa Sahabat, Ushul Fiqh Masa Tabi’in, Ushul Fiqh Masa Imam Madzhab
E. PENUTUP
Demikian
makalah yang dapat kami sajikan tentunya masih banyak kekurangan disebabkan
keterbatasan sumber dan pengetahuan penyusun. Kritik dan saran yang konstruktif
sangat kami harapkan dalam rangka pembuatan makalah selanjutnya yang lebih baik.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat menambah khasanah
pengetahuan, manfaat untuk kita semua. Amiiinn.
DAFTAR PUSTAKA
Abd
al-Hadi al-Fadli, Mabadi’ Usul al-Fiqh,
Abdul Wahab Ibrhamim Abu Sulaiman. Al-Fikr al-Usuli: Dirasah
Tahliliyah Naqdiyah. Jeddah: Dar al-Syuruq. 1983
Abdul Wahhab Khalaf, Mashadir al Tasyri’ al
Islamy Fima La Nashsha Lah, Dar al Qalam, Kuwait; 1993.
Abdullah bin Yusuf al-Juday‘, Taysir ‘Ilm
Usul al-Fiqh,
Abdullah bin Yusuf al-Juday‘, Taysir ‘Ilm
Usul al-Fiqh, Abd al-Hadi al-Fadli, Mabadi’ Usul al-Fiqh,
Abdullah bin Yusuf
al-Juday‘, Taysir ‘Ilm Usul al-Fiqh, Beirut: Mu’assasah al-Rayyan, cet.
I, 1418 H./1997 M.,
Al-Suyuthi. al-Asybah wa
al-Nadzair fi al-Furu’. Bairut: Daar Alfikri, tth,
I’lam
muwaqiin 1/110, ibnu alqoyim ,darul hadits
Ibnu
Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (t.t.: Dar al-Bayan, t.th.),
Muhammad al-Khudlary. Tarikh Tasyri’ al-Islamy.
Surabaya: dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah. Tth.
Muhammad Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf fi
al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-Fuqaha. Beirut: Muassassah
al-Risalah. 1994.
Muhammad Sulayman ‘Abd Allah al-Ashqar, al-Wadih
fi Usul al-Fiqh li al-Mubtadi’in ma‘a As’ilah li al-Munaqashah wa Tamrinat,
Kairo: Dar al-Salam, cet. II, 1425 H./2004 M.,
Muhammad Sulayman al-Ashqar, al-Wadih,
Murtada Mutahhari, Madkhal ila al-‘Ulum
al-Islamiyyah: al-Usul, terj. Hasan ‘Ali al-Hashimi, Beirut: Dar al-Wala’,
cet. I, 2009 M./1430 H.
Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al-Islami wa
Madarisuh,
Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al-Islami
wa Madarisuh, ‘Abdullah bin Yusuf al-Juday‘, Taysir ‘Ilm Usul al-Fiqh,[1] Mustafa
Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al-Islami wa Madarisuh, Al-Zarqa memasukkan hukum
yang berkaitan dengan akhlak dan tata krama, disebut adab, ke dalam
bagian fiqh.
Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al-Islami wa
Madarisuh, Damaskus: Dar al-Qalam dan Beirut: Dar al-Shamiyyah, cet. I,
1416 H./1995 M., h. 9; Murtada Muttahhari, Madkhal ila al-‘Ulum
al-Islamiyyah: Fiqh, terj. Hasan ‘Ali al-Hashimi, Beirut: Dar al-Wala’,
cet. II, 1432 H./2011 M
Musthafa Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf
Najmuddin al-Thufi. Kitab al-Ta’yin fi Syarh al-Arbain. Beirut:
Muassasah al-Rayyan. 1998.
Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Tt: Tp. Tth. h. 13. Lihat
juga Noel James Coulson. History of Islamic Law. Edinburgh:
Edinburgh University Press. 1964.
Sirajuddin
Abbas, 40 Masalah Agama 2, Pustaka Tarbiyah, Jakarta; 2005
Thaha Jabir Alwani. Source Methodology in Islamic Jurisprudence.
Virginia: IIIT. 1994.
Wael B. Hallaq. A History of Islamic Legal Theories, an
Introduction to Sunni Ushul Fiqh. Cambridge: Cambridge University
Press. 1997.
[1] Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama 2,
(Pustaka Tarbiyah, Jakarta; 2005), cet. Ke-29, hlm. 273-274.
[2] Abdul Wahhab Khalaf, Mashadir al
Tasyri’ al Islamy Fima La Nashsha Lah, (Dar al Qalam, Kuwait; 1993), cet.
Ke-6. hlm. 8
[3]Abdullah bin Yusuf
al-Juday‘, Taysir ‘Ilm Usul al-Fiqh, Beirut: Mu’assasah al-Rayyan, cet.
I, 1418 H./1997 M., hlm. 11.
[5] Kata فقه
disebut di dalam al-Quran sebanyak tujuh kali, yaitu di dalam QS. al-An‘am: 25,
al-Isra’: 46, al-Kahf: 57, al-Tawbah: 122, al-Kahf: 93, Taha: 28, dan
al-Munafiqun: 7. Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Mu‘jam Mufahras li Alfaz
al-Qur’an, entri فقه.
[6] Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al-Islami wa
Madarisuh, Damaskus: Dar al-Qalam dan Beirut: Dar al-Shamiyyah, cet. I,
1416 H./1995 M., h. 9; Murtada Muttahhari, Madkhal ila al-‘Ulum
al-Islamiyyah: Fiqh, terj. Hasan ‘Ali al-Hashimi, Beirut: Dar al-Wala’,
cet. II, 1432 H./2011 M., hlm. 11-12.
[8] Murtada Mutahhari, Madkhal ila al-‘Ulum
al-Islamiyyah: al-Usul, terj. Hasan ‘Ali al-Hashimi, Beirut: Dar al-Wala’,
cet. I, 2009 M./1430 H., hlm. 11-13
[11] Di dalam buku al-Tashri‘ al-Islami Manahijuh
wa Maqasiduh karya Muhammad Taqi al-Mudarrisi yang disebut-sebut sebagai
Neo-Usul Fiqh, bab pertamanya justru bertema “Akal Dan Shariat”. Bab ini memuat
empat subbab: (1) Pengertian akal, (2) Akal mengenalkan kepada syariat, (3)
Syariat menyempurnakan akal, (4) Putusan-putusan rasional (al-ahkam
al-‘aqliyyah).
[12] Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al-Islami
wa Madarisuh, h. 10; ‘Abdullah bin Yusuf al-Juday‘, Taysir ‘Ilm Usul
al-Fiqh, h. 12.
[13] Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al-Islami wa
Madarisuh, h. 10-12. Al-Zarqa memasukkan hukum yang berkaitan dengan akhlak
dan tata krama, disebut adab, ke dalam bagian fiqh.
[17] Muhammad Sulayman ‘Abd Allah al-Ashqar, al-Wadih
fi Usul al-Fiqh li al-Mubtadi’in ma‘a As’ilah li al-Munaqashah wa Tamrinat,
Kairo: Dar al-Salam, cet. II, 1425 H./2004 M., hlm. 7.
[20] I’lam
muwaqiin 1/110, ibnu alqoyim ,darul
hadits
[21] Ibnu
Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (t.t.:
Dar al-Bayan, t.th.), hlm. 452
[22] Muhammad
Sa‘id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi
Ikhtialaf al-Fuqaha. Beirut: Muassassah al-Risalah. 1994. h. 122-123.
[23] Kisah di atas
berasal dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan al-Nasa’I daru
Abu Sa‘id al-Khudri.
[24] Hadits tersebut
diriwayatkan oleh al-Bayhaqi dari Ibnu Abbas. Hadits dengan makna yang sama
diriwayatkan oleh Muslim.
[25] Redaksi hadits
di atas berasal dari Sunan al-Baihaqi. Riwayat yang hampir sama isi dan
redaksinya juga dimuat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Sunan Abu Dawud, dan
Sunan Tirmidzi. Meskipun ada yang meragukan kesahihan hadits di atas, namun
hadits tersebut sangat populer di kalangan ushuliyyin.
[26] Thaha Jabir
Alwani. Source Methodology in Islamic Jurisprudence. Virginia: IIIT.
1994. hlm. 19
[27] Abdul Wahab Ibrhamim Abu Sulaiman. Al-Fikr
al-Usuli: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah. Jeddah: Dar al-Syuruq. 1983. hlm.
38-39..
[28] Musthafa Sa‘id
al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf… h. 72.
[29] Muhammad
al-Khudlary. Tarikh Tasyri’ al-Islamy. Surabaya: dar Ihya’ al-Kutub
al-‘Arabiyyah. Tth. hlm. 114.
[30] Najmuddin
al-Thufi. Kitab al-Ta’yin fi Syarh al-Arbain. Beirut: Muassasah al-Rayyan. 1998. hlm. 237-238.
[31] Abu Zahrah. Ushul
Fiqh. Tt: Tp. Tth. h. 13. Lihat juga Noel James Coulson. History
of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press. 1964. hlm. 53 dst.
[32] Wael B. Hallaq. A
History of Islamic Legal Theories, an Introduction to Sunni Ushul Fiqh.
Cambridge: Cambridge University Press. 1997. hlm. 127
[33] Al-Suyuthi.
al-Asybah wa al-Nadzair fi al-Furu’. (Bairut: Daar Alfikri, tth, hlm
56)
[35] Muhammad Sulayman ‘Abd Allah al-Ashqar, al-Wadih
fi Usul al-Fiqh li al-Mubtadi’in ma‘a As’ilah li al-Munaqashah wa Tamrinat,
Kairo: Dar al-Salam, cet. II, 1425 H./2004 M., hlm. 7.
[36] I’lam
muwaqiin 1/110, ibnu alqoyim ,darul
hadits
[37] Ibnu
Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (t.t.:
Dar al-Bayan, t.th.), hlm. 452
Tidak ada komentar:
Posting Komentar